Sabtu, 16 Januari 2010

Dahsyatnya Proses Sakaratul Maut

Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri". (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).


Datangnya Kematian Menurut Al Qur'an :
  1. Kematian bersifat memaksa dan siap menghampiri manusia walaupun kita berusaha menghindarkan resiko-resiko kematian.
    Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS. Ali Imran, 3:154)

  2. Kematian akan mengejar siapapun meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh atau berlindung di balik teknologi kedokteran yang canggih serta ratusan dokter terbaik yang ada di muka bumi ini.
    Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".
    Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? (QS. An-Nisa 4:78)

  3. Kematian akan mengejar siapapun walaupun ia lari menghindar.
    Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Jumu'ah, 62:8)

  4. Kematian datang secara tiba-tiba.
    Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS, Luqman 31:34)

  5. Kematian telah ditentukan waktunya, tidak dapat ditunda atau dipercepat.
    Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Munafiqun, 63:11)

Dahsyatnya Rasa Sakit Saat Sakaratul Maut

Sabda Rasulullah SAW : "Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang" (HR Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW : "Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?" (HR Bukhari)

Atsar (pendapat) para sahabat Rasulullah SAW.

Ka'b al-Ahbar berpendapat : "Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa".

Imam Ghozali berpendapat : "Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki".

Imam Ghozali juga mengutip suatu riwayat ketika sekelompok Bani Israil yang sedang melewati sebuah pekuburan berdoa pada Allah SWT agar Ia menghidupkan satu mayat dari pekuburan itu sehingga mereka bisa mengetahui gambaran sakaratul maut. Dengan izin Allah melalui suatu cara tiba-tiba mereka dihadapkan pada seorang pria yang muncul dari salah satu kuburan. "Wahai manusia !", kata pria tersebut. "Apa yang kalian kehendaki dariku? Limapuluh tahun yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga kini rasa perih bekas sakaratul maut itu belum juga hilang dariku."

Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang. Mustafa Kemal Attaturk, bapak modernisasi (sekularisasi) Turki, yang mengganti Turki dari negara bersyariat Islam menjadi negara sekular, dikabarkan mengalami proses sakaratul maut selama 6 bulan (walau tampak dunianya hanya beberapa detik), seperti dilaporkan oleh salah satu keturunannya melalui sebuah mimpi.

Rasa sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia hidup. Sebuah riwayat bahkan mengatakan bahwa rasa sakit sakaratul maut merupakan suatu proses pengurangan kadar siksaan akhirat kita kelak. Demikianlah rencana Allah. Wallahu a'lam bis shawab.

Sakaratul Maut Orang-orang Zhalim

Imam Ghozali mengutip sebuah riwayat yang menceritakan tentang keinginan Ibrahim as untuk melihat wajah Malaikatul Maut ketika mencabut nyawa orang zhalim. Allah SWT pun memperlihatkan gambaran perupaan Malaikatul Maut sebagai seorang pria besar berkulit legam, rambut berdiri, berbau busuk, memiliki dua mata, satu di depan satu di belakang, mengenakan pakaian serba hitam, sangat menakutkan, dari mulutnya keluar jilatan api, ketika melihatnya Ibrahim as pun pingsan tak sadarkan diri. Setelah sadar Ibrahim as pun berkata bahwa dengan memandang wajah Malaikatul Maut rasanya sudah cukup bagi seorang pelaku kejahatan untuk menerima ganjaran hukuman kejahatannya, padahal hukuman akhirat Allah jauh lebih dahsyat dari itu.

Kisah ini menggambarkan bahwa melihat wajah Malakatul Maut saja sudah menakutkan apalagi ketika sang Malaikat mulai menyentuh tubuh kita, menarik paksa roh dari tubuh kita, kemudian mulai menghentak-hentak tubuh kita agar roh (yang masih cinta dunia dan enggan meninggalkan dunia) lepas dari tubuh kita ibarat melepas akar serabut-serabut baja yang tertanam sangat dalam di tanah yang terbuat dari timah keras.

Itulah wajah Malaikatul Maut yang akan mendatangi kita kelak dan memisahkan roh dari tubuh kita. Itulah wajah yang seandainya kita melihatnya dalam mimpi sekalipun maka kita tidak akan pernah lagi bisa tertawa dan merasakan kegembiraan sepanjang sisa hidup kita.

Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
"Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. (QS. Al-An'am 6:93) (Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat lalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun". (Malaikat menjawab): "Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan". Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu. (QS, An-Nahl, 16 : 28-29)

Di akhir sakaratul maut, seorang manusia akan diperlihatkan padanya wajah dua Malaikat Pencatat Amal. Kepada orang zhalim, si malaikat akan berkata, "Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik, engkaulah yang membuat kami terpaksa hadir ke tengah-tengah perbuatan kejimu, dan membuat kami hadir menyaksikan perbuatan burukmu, memaksa kami mendengar ucapan-ucapan burukmu. Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik !" Ketika itulah orang yang sekarat itu menatap lesu ke arah kedua malaikat itu.

Ketika sakaratul maut hampir selesai, dimana tenaga mereka telah hilang dan roh mulai merayap keluar dari jasad mereka, maka tibalah saatnya Malaikatul Maut mengabarkan padanya rumahnya kelak di akhirat. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Tak seorangpun diantara kalian yang akan meninggalkan dunia ini kecuali telah diberikan tempat kembalinya dan diperlihatkan padanya tempatnya di surga atau di neraka".
Dan inilah ucapan malaikat ketika menunjukkan rumah akhirat seorang zhalim di neraka, "Wahai musuh Allah, itulah rumahmu kelak, bersiaplah engkau merasakan siksa neraka". Naudzu bila min dzalik!

Sakaratul Maut Orang-orang Yang Bertaqwa

Sebaliknya Imam Ghozali mengatakan bahwa orang beriman akan melihat rupa Malaikatul Maut sebagai pemuda tampan, berpakaian indah dan menyebarkan wangi yang sangat harum.

Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Assalamu alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". (QS, An-Nahl, 16 : 30-31-32)

Dan saat terakhir sakaratul mautnya, malaikatpun akan menunjukkan surga yang akan menjadi rumahnya kelak di akhirat, dan berkata padanya, "Bergembiaralah, wahai sahabat Allah, itulah rumahmu kelak, bergembiralah dalam masa-masa menunggumu".

Wallahu a'lam bish-shawab.

Semoga kita yang masih hidup dapat selalu dikaruniai hidayah-Nya, berada dalam jalan yang benar, selalu istiqomah dalam keimanan, dan termasuk umat yang dimudahkan-Nya, selama hidup di dunia, di akhir hidup, ketika sakaratul maut, di alam barzakh, di Padang Mahsyar, di jembatan jembatan Sirath-al mustaqim, dan seterusnya. Amin !

(Sumber Tulisan Oleh : NN, dikumpulkan dari berbagai sumber)

Milis Eramuslim
Dikirim oleh: Smart Chatzz


Rabu, 13 Januari 2010

Menyikapi Musibah

“Disadari atau tidak, ternyat“Disadari atau tidak, ternyata tidak sedikit orang yang hancur luluh keimanannya hanya karena ketidakmampuannya menghadapi musibah dalam hidup. Salah satu penyebabnya karena salah dalam memahami makna musibah dan salah pula dalam menyikapinya. Kesalahan seseorang dalam memaknai dan menyikapi musibah akibatnya bisa sangat fatal terhadap keimanannya.”

Bagi seorang mu’min tentu meyakini bahwa, segala sesuatu hanya akan terjadi di dunia ini karena, “Kun Fayakun” Allah, sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini terutama yang tidak kita inginkan harusnya menjadi bahan “muhasabah” (introspeksi) atau “tazkirah” (peringatan) apa yang sebenarnya sedang Allah rencanakan untuk kita.

Berbicara masalah musibah, sebenarnya musibah adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. As Sajdah, 32 : 21).

Namun, jika menimpa orang yang mu'min, pasti itu adalah bentuk kasih-sayang Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah menyatakan, "Jika Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah SWT akan memberikan bala, ujian atau cobaan". Ini semakin mempertegas kepada kita bahwa musibah bagi orang-orang yang mu'min itu sebagai bentuk kasih-sayang.

Paling tidak, ada "tiga" kemungkinan yang mendasari terjadinya musibah yang menurut Al Qur'an sebagai bentuk kasih-sayang Allah SWT kepada orang-orang mu'min. Pertama, sebagai ujian keimanan bagi orang mu'min. Kasih-sayang Allah kepada hamba-Nya yang mu'min di antaranya ditunjukkan-Nya dengan menurunkan musibah dengan memberikan peluang kepada hamba-hamba-Nya yang mu'min untuk mengikuti ujian dalam proses peningkatan keimanannya. Allah SWT berfirman: "Adakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja oleh Allah untuk menyatakan, "aamannaa" (kami telah beriman) padahal Kami belum lagi memberikan ujian kepada mereka. Sungguh telah Kami uji umat sebelum mereka, dengan ujian itu jelaslah oleh Kami siapa yang benar pengakuan keimanannya itu dan siapa pula yang dusta" (Al Ankabuut, 29 : 2-3).

Hakikatnya ujian itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang sangat positif, yang tidak positif adalah jika seseorang yang telah diberi peluang untuk mengikuti ujian lalu ia tidak memanfaatkan peluang tersebut secara optimal sehingga tidak lulus. Betapa ruginya seseorang jika tidak diberi kesempatan untuk mengikuti ujian. Sebaliknya, alangkah beruntung dan bahagianya seseorang yang telah diberi peluang mengikuti ujian dan berhasil lulus dalam ujiannya.

Disadari atau tidak, selama ini kita mungkin telah banyak melakukan kekeliruan dalam memaknai dan menyikapi musibah yang terjadi. Kadang pandangan kita selama ini dalam memaknai dan menyikapi musibah terlalu cenderung pada nilai duniawi. Kemudian kita menganggap ujian itu sebagai bentuk musibah yang sebenarnya sesuatu yang tidak diharapkan. Sehingga ukuran keshalehan seseorang pun kadang dilihat dari kurangnya musibah dalam hidupnya. Ini pandangan yang keliru terhadap makna musibah yang sebenarnya.

Kedua, boleh jadi musibah sebagai bentuk kasih-sayang Allah SWT kepada orang-orang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan, tetapi justru karena Allah SWT sedang memilihkan hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Namun, karena ketidakmampuan untuk bisa memahami hikmah di balik dari suatu peristiwa, lantas kita akhirnya menganggap peristiwa yang terjadi itu sebagai musibah.

Karena ketidakmungkinan manusia “memastikan” apa yang akan terjadi (QS. Lukman : 34) maka acapkali kita tidak bisa memahami hikmah di balik peristiwa yang sedang terjadi. Terkadang kita baru bisa merasakan hikmahnya setelah sekian lama mengalaminya. Pada saat peristiwa boleh jadi kita menganggapnya sebagai musibah, tapi setelah berlalu beberapa waktu mungkin seminggu, sebulan bahkan mungkin setelah beberapa tahun, barulah kita menyatakan rasa syukur setelah menyadari hikmahnya.

Sebagai contoh, seseorang sudah berniat bahkan telah melakukan berbagai macam persiapan untuk menghadiri suatu acara penting yang tempatnya jauh dari domisilinya di antaranya dengan memesan tiket pesawat. Pada saat pemberangkatan, atas takdir-Nya ternyata ia terlambat hanya beberapa menit. Ungkapan perasaan yang muncul saat itu mungkin ungkapan dalam bentuk cacian, makian atau dan lain sebagainya. Setelah beberapa saat kemudian melalui berita yang bersangkutan mendengar bahwa pesawat yang semula akan ditumpanginya jatuh. Barulah saat itu dia sadar dan bersyukur karena tertinggal pesawat.

Karena ketidakmampuan membaca hikmah dari suatu peristiwa, maka sering terjadi orang yang semestinya bersyukur malah mencaci-maki, yang semestinya tertawa malah menangis. Sebaliknya, dia tertawa pada saat seharusnya dia menangis. Semua ini terjadi oleh sebab ketidakmampuan manusia memastikan apa yang akan terjadi, Allah SWT berfirman: "Tidak ada satu jiwa pun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi besok"(Luqman, 31 : 34).

Di lain sisi Allah SWT juga mengingatkan, "Boleh jadi kamu sangat tidak menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (Al Baqarah, 2 : 216). Oleh karena ketidakmampuan kita dalam memahami hikmah dari satu peristiwa yang menimpa kehidupan kita, maka kita menganggap sesuatu itu tidak baik padahal ia sangat baik. Sebaliknya, kita menganggap sesuatu itu tidak baik, padahal ia sangat baik bagi kita. Jadi, sangat mungkin sekali bahwa musibah yang menimpa diri kita saat ini sebenarnya bentuk kasih-sayang-Nya, karena Allah sedang memilihkan sesuatu yang terbaik bagi kita dunia dan akhirat.

Ketiga, bisa juga musibah yang menimpa kehidupan seorang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula pilihan Allah yang terbaik, tetapi semata-mata azab dari Allah SWT bagi seorang mu’min masih dalam konteks kasih-sayang-Nya. Karena menurut Allah SWT hamba-Nya yang mu'min itu sudah mulai jauh meninggalkan syari’at-Nya di mana yang bersangkutan baru akan sadar jika diturunkan azab sebagai peringatan kepadanya agar ia segera kembali hidup di jalan yang diridhai-Nya.

Kalau musibah itu merupakan ujian keimanan, maka kita harus bersyukur. Lebih bersyukur lagi kalau musibah itu adalah pilihan Allah yang terbaik, berarti Allah sedang sangat sayang kepada kita, sedang membimbing dan menunjukkan apa yang terbaik bagi kita. Bahkan, kalau pun musibah itu sebagai azab, tetap saja kita harus bersyukur kepada-Nya karena Allah masih mau mengingatkan agar segera bertaubat dan memperbaiki diri sebelum ajal menjemput kita.

Sebelum tulisan ini saya akhiri, saya mengajak sidang pembaca untuk merenung sejenak terhadap sebuah kisah yang layak kita jadikan "ibrah" (pelajaran) bagi kita, di mana betapa luar biasanya buah keimanan dapat mengecilkan arti musibah duniawi. Dikisahkan salah seorang tabi'in bernama Urwah bin Zabir, yang Allah takdirkan salah satu kakinya dari lutut ke bawah sakit hingga membusuk. Tak lama kemudian didatangkan 4 orang Tabib sebagai upaya penyembuhan. Ternyata hasil diagnosa 4 Tabib menyimpulkan bahwa tidak ada cara lain kecuali harus diamputasi kaki yang membusuk tersebut. Jika tidak, maka dikhawatirkan penyakitnya akan menjalar ke seluruh tubuh.

Ketika berita ini disampaikan kepada Urwah, dengan tenang dia mengatakan, kalau memang itu adalah keputusan para Tabib, kenapa tidak segera dilakukan ? Sebelum pelaksanaan operasi, disodorkanlah oleh Tabib minuman kepada Urwah sambil mengatakan, silakan anda minum terlebih dahulu. Ketika Urwah mau meminumnya terciumlah aroma lain, maka dia bertanya, minuman apa ini ? “Arak”, kata Tabib. Maksudnya apa, tanya Urwah. Jawab Tabib: “supaya anda mabuk agar mengurangi sedikit rasa sakit karena sebentar lagi kaki anda akan kami gergaji mulai dari kulit, daging hingga tulang. Dan, tentu saja akan terjadi pendarahan yang luar biasa. Supaya darah tidak terus mengalir, maka sudah kami siapkan "kuali" dengan minyak goreng yang sudah mendidih. Setelah kaki anda dipotong agar jangan terus mengeluarkan darah maka kaki anda itu akan kami masukkan ke dalam kuali agar cepat kering.

Jawab Urwah, “Sungguh sulit diterima akal sehat jika ada seorang mu'min yang beriman kepada Allah lantas dia meminum sesuatu untuk menghilangkan akalnya. Sehingga dia sudah tidak ingat lagi siapa Tuhannya? Betapa saya meragukan keimanan seseorang yang sampai mau meminum khamr sehingga dia tidak sadar bahwa Allah itu ada, bagaimana bisa diyakini keimanan seperti itu. Saya tidak ingin sedikit pun termasuk orang seperti itu, untuk itu buanglah jauh-jauh khamr dari depan mukaku”.

“Lantas apa yang mesti kami lakukan?”, kata Tabib. Urwah berkata: “setelah saya memberi isyarat dengan tangan saya, silakan laksanakan tugas kalian, gergaji kaki saya dan masukkan ke dalam kuali”. Lalu Urwah pun asyik khusyu’ berzikir sampai kemudian dia angkat tangannya sambil terus berzikir memejamkan mata pertanda dia sudah siap untuk digergaji kakinya. Maka digergajilah kaki Urwah dan langsung dimasukkan dalam kuali. Konon, dia sempat pingsan. Setelah siuman, sambil tetap berbaring di tempat tidur, dia meminta kepada orang di sekelilingnya agar potongan kakinya tersebut setelah dimandikan dan dikafani dan sebelum dikuburkan dapat dihadirkan kepadanya.

Dibawakanlah potongan kakinya dan sambil berbaring dia angkat potongan kaki itu sambil mengatakan, Ya Allah, Alhamdulillah, selama ini Engkau telah karuniakan saya dua kaki, kelak kaki ini akan menjadi saksi di akhirat nanti. Ya Allah, Demi Allah, saya tidak pernah membawa dia melangkah ke jalan yang tidak Engkau ridhai. Kini, Engkau ambil yang hakikatnya adalah milik-Mu Ya Allah, innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan saya masih bisa memanfaatkan kaki yang tersisa ini. Lantas potongan kaki pun diberikan sambil ia meminta dikuburkan.

Nyaris tidak ada kesedihan, tapi tiba-tiba Urwah menangis. Orang yang menyaksikan sejak awal itu berkomentar: “kami semula begitu merasa bangga dengan ketegaran anda, lalu kenapa engkau kini menangis, wahai Urwah ?” Beliau menjawab: “Demi Allah, hanya Allah yang Mahatahu, saya bukan menangis karena hilangnya satu kaki saya, yang hakikatnya milik Allah, tapi yang membuat saya menangis hanyalah kekhawatiran, apakah dengan kaki yang hanya tinggal satu ini saya masih bisa beribadah dengan sempurna kepada Allah ?

Allahu Akbar! Luar biasa keimanan Urwah, dunia menjadi kecil di mata orang mukmin seperti Urwah ini. Siang hari dia menjalani operasi amputasi, malamnya salah satu dari tujuh orang anaknya meninggal dunia. Ketika berita duka ini disampaikan, beliau berkata, saya belum bisa bangkit dari tempat tidur ini, karenanya tolong urus jenazahnya, mandikan, kafani dan shalatkan. Sebelum dikuburkan ijinkan saya memegang sejenak jenazah anak saya. Ketika jenazah putranya disodorkan kepadanya, ia pun memegang jenazah anaknya sambil mengusap kepalanya dan bardoa, “Ya Allah, Alhamdulillah, Engkau telah karuniai saya tujuh anak. Mudah-mudahan sebagai ayah mereka sudah saya laksanakan kewajiban mendidik mereka di jalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, sekarang Engkau ambil salah seorang di antara mereka, milik-Mu Ya Allah, bukan milikku. Innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan Engkau masih memberikan manfaat untuk 6 anak yang masih tersisa. Allahu Akbar, bagi orang mukmin hanya Allah yang “Akbar” dunia dan segala isinya “kecil” di mata seorang yang mencintai Allah di atas cinta kepada selain Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab

Republika,
Kamis, 15 Oktober 2009